Konflik antara Israel dan Palestina belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Kondisi tersebut bahkan memantik tensi di kawasan lain seperti Lebanon dan Iran. Menurut Angga Andinata, ahli kripto yang juga pendiri Belajarbitcoin.com, situasi itu berpotensi memengaruhi pasar kripto di masa depan.
Angga mengungkapkan, bulan lalu harga Bitcoin sempat turun hingga menyentuh level US$59 ribu per token. Ketika itu, masyarakat memperkirakan akan terjadi peristiwa black swan akibat meningkatnya eskalasi perang antara Iran dan Israel.
Namun, setelah kejadian itu tidak berkembang seperti yang dikhawatirkan, harga Bitcoin (BTC) kembali pulih, ungkap Angga.
“Namun, bukan berarti peristiwa black swan tidak akan terjadi lagi di masa depan. Jika terjadi peristiwa tak terduga seperti bulan lalu, pasar kripto bisa terkena dampak yang paling parah karena investor cenderung menghindari aset berisiko seperti altcoin dan kripto,” jelasnya saat sesi interview bertema “Melihat Masa Depan Cryptocurrency: Tinjauan 2024 dan Prediksi 2025.”
Dalam kondisi yang serba tidak menentu seperti sekarang, Bitcoin dipandang sebagai pilihan instrumen penyimpanan aset terbaik. Menurut Angga, BTC memiliki protokol terdesentralisasi, bersifat transparan, dan dapat diverifikasi dengan mudah. Namun, Angga menekankan pilihannya bukan pada aset kripto lainnya atau yang biasa disebut altcoin, melainkan hanya Bitcoin.
Emas Tidak Portable
Angga menjelaskan, kripto adalah bisnis yang menerbitkan dua produk, yakni protokol dan token. Saat terjadi chaos seperti krisis ekonomi, sektor yang paling parah terkena imbasnya adalah aset yang memiliki risiko tinggi seperti kripto.
Dia membedakan perspektif antara kripto dan Bitcoin lantaran dalam kacamatanya, kripto mewakili industri startup dan bisnis Web3. Meskipun demikian, altcoin cocok untuk perdagangan musiman, sementara Bitcoin lebih cocok untuk dipegang dalam jangka panjang (hold).
“Saya tidak memperdagangkan Bitcoin saya, hanya hold untuk jaga-jaga. Itu juga mengapa Bitcoin lebih dilirik oleh investor institusional dibanding altcoin lain. Pun ada, mungkin tidak sebanyak Bitcoin,” tutur Angga.
Mengenai pandangan yang mengatakan bahwa emas bisa dijadikan store of value saat kondisi geopolitik memanas, Angga menganggap hal itu mustahil. Pasalnya, ekonomi dunia saat ini sudah berbasis pada mata uang fiat seperti dolar.
Meskipun ada beberapa negara yang mulai mengumpulkan emas sebagai bentuk hedging terhadap dolar, mata uang fiat akan tetap ada dan mungkin akan digantikan oleh mata uang fiat baru jika dolar runtuh.
“Sejarah menunjukkan bahwa mata uang fiat cenderung kehilangan nilainya karena devaluasi dan inflasi. Misalnya, dolar kontinental Amerika yang mengalami penurunan nilai drastis dalam beberapa tahun setelah kemerdekaan, menyebabkan kerugian besar bagi mereka yang menabung dalam fiat. Sebaliknya, mereka yang menabung dalam emas dan perak terhindar dari kerugian tersebut,” ungkap Angga.
Jika emas digunakan untuk lindung nilai, menurut Angga, sifatnya tidak portable dan tidak diketahui berapa maksimal pasokan juga kemurniannya saat akan melakukan perdagangan. Sehingga, opsi aset terbaik dalam kondisi geopolitik yang tinggi adalah Bitcoin.
Bagaimana pendapat Anda tentang topik ini? Yuk, sampaikan pendapat Anda di grup Telegram kami. Jangan lupa follow akun Instagram dan Twitter RedaksiNusa Indonesia, agar Anda tetap update dengan informasi terkini seputar dunia kripto!
Penyangkalan
Seluruh informasi yang terkandung dalam situs kami dipublikasikan dengan niat baik dan bertujuan memberikan informasi umum semata. Tindakan apa pun yang dilakukan oleh para pembaca atas informasi dari situs kami merupakan tanggung jawab mereka pribadi.